INTERAKSI.CO, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan terkait Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan mengubah sejumlah pasal dalam undang-undang tersebut.

MK membacakan putusan ini dalam sidang di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, pada Selasa (29/4/2025). Terdapat dua gugatan yang dibacakan putusannya hari ini.

Gugatan pertama, dengan nomor perkara 115/PUU-XXII/2024, diajukan oleh Jovi Andrea Bachtiar. Dalam permohonannya, Jovi meminta MK mengubah sejumlah pasal, yaitu Pasal 310 KUHP, Pasal 45 ayat (7) UU ITE, Pasal 45 ayat (2) huruf a UU ITE, Pasal 27 ayat (1) UU ITE, Pasal 45 ayat (1) UU ITE, Pasal 28 ayat (3) UU ITE, dan Pasal 45A ayat (3) UU ITE.

Jovi mengaku dirugikan oleh pasal-pasal yang ia gugat, dan merasa telah dikriminalisasi akibat ketentuan dalam UU ITE tersebut.

MK mengabulkan sebagian permohonannya, khususnya terkait Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3), yang berbunyi:

Pasal 28 ayat (3):
Setiap orang dengan sengaja menyebarkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat.

Pasal 45A ayat (3):
Setiap orang yang dengan sengaja menyebarkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000.

MK memutuskan sebagai berikut:

  1. Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian.
  2. Menyatakan kata “kerusuhan” dalam Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2024 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai sebagai “kerusuhan yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan di ruang digital/siber.”
  3. Menyatakan permohonan pemohon mengenai frasa “dilakukan demi kepentingan umum” dalam Pasal 45 ayat (2) huruf a serta frasa “melanggar kesusilaan” dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 45 ayat (1) tidak dapat diterima.
  4. Memerintahkan pemuatan putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
  5. Menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya.

Dalam pertimbangannya, MK menjelaskan bahwa pembentuk undang-undang sebenarnya telah memberikan batasan melalui penjelasan Pasal 28 ayat (3), yaitu bahwa kerusuhan dimaksud adalah gangguan terhadap ketertiban umum di ruang fisik. MK menilai pembatasan ini penting agar penegakan hukum dilakukan secara jelas.

“Pembatasan ini bertujuan agar penerapan Pasal 28 ayat (3), yang merupakan delik materiil, memenuhi prinsip lex scripta, lex certa, dan lex stricta,” ujar MK.

Selain gugatan dari Jovi, MK juga mengabulkan sebagian gugatan Daniel Frits Maurits Tangkilisan dalam perkara nomor 105/PUU-XXII/2024. Daniel menggugat Pasal 27A, Pasal 45 ayat (4), Pasal 28 ayat (2), dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE karena dinilai belum memberikan kepastian hukum, khususnya terkait pencemaran nama baik.

MK mengabulkan sebagian permohonan Daniel dengan mempertimbangkan isi pasal-pasal berikut:

Pasal 27A:
Setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan menuduhkan suatu hal, agar hal tersebut diketahui umum dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilakukan melalui sistem elektronik.

Pasal 28 ayat (2):
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain hingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau fisik.

Pasal 45 ayat (4):
Setiap orang yang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan/atau denda paling banyak Rp400.000.000.

Pasal 45A ayat (2):
Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000.

Putusan MK atas permohonan Daniel antara lain:

  1. Mengabulkan permohonan untuk sebagian.
  2. Menyatakan frasa “orang lain” dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mengikat secara bersyarat, kecuali dimaknai sebagai “bukan lembaga pemerintah, kelompok dengan identitas tertentu, institusi, korporasi, profesi, atau jabatan.”
  3. Menyatakan frasa “suatu hal” dalam kedua pasal tersebut tidak mengikat secara bersyarat, kecuali dimaknai sebagai “perbuatan yang merendahkan kehormatan atau nama baik seseorang.”
  4. Menyatakan frasa dalam Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) tidak mengikat secara bersyarat, kecuali dimaknai sebagai “penyebaran kebencian berdasarkan identitas tertentu yang dilakukan secara sengaja, di depan umum, dan menimbulkan risiko nyata terhadap diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan.”
  5. Memerintahkan pemuatan putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
  6. Menolak permohonan untuk bagian lainnya.

Dalam pertimbangannya, MK menekankan pentingnya batasan yang jelas dalam ketentuan pidana agar penegakan hukum berlangsung objektif.

“Norma tersebut berpotensi disalahgunakan untuk menjerat kebebasan berekspresi yang netral, termasuk kritik atau satire, jika pihak ketiga menanggapinya secara salah. Oleh karena itu, hukum pidana harus diterapkan hanya pada informasi yang secara substansial mengandung ajakan atau penyebaran kebencian berdasarkan identitas, dilakukan secara sengaja dan di depan umum, serta menimbulkan risiko nyata terhadap diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan,” tegas MK.

 

Author