Oleh: Fazlur Rahman

Sesuai Surat Keputusan KPU RI Nomor 1779 Tahun 2024, surat suara yang tercoblos ke paslon yang didiskualifikasi dianggap tidak sah.

Hal ini berdampak langsung di Pilwali Banjarbaru, karena Paslon Lisa-Wartono berpotensi ‘autowin‘ lantaran Aditya-Said Abdullah telah didiskualifikasi. Publik lantas menyerang KPU dan Bawaslu. Lisa – Wartono juga menjadi sasaran dan jadi ‘bulan-bulanan’ media sosial.

Saya hanya ingin menyampaikan, betapapun publik menyalahkan KPU, tapi toh inilah realita demokrasi.

Aturan yang dibuat KPU adalah langkah penemuan hukum (rechtsvinding). Walaupun mestinya ini dilakukan oleh hakim (lembaga yudikatif), tapi KPU masih memiliki kewenangan untuk mengatasi celah kekosongan norma yang menjawab persoalan ‘suara yang nyasar ke paslon terdiskualifikasi’.

Aplikasinya memang mudah jika paslon yang tersisa masih ada dua atau lebih. Menjadi sulit dan ramai karena di Pilwali Banjarbaru hanya tersisa satu paslon saja.

Alasan sederhana yang dipakai karena sejak awal paslonnya tidak tunggal, sehingga ketika di tengah jalan ada salah satu paslon terdiskualifikasi secara penuh, ya, jangan salahkan paslon yang tersisa dong. Mereka juga peserta Pilkada.

Salah kah KPU? Bagi saya akan lebih salah jika KPU tidak mengeluarkan pengaturan demikian, malah hasilnya akan jelas kecacatannya.

Lalu apa poinnya, bagi saya yang menjadi masalah ialah normanya, bukan hasilnya. Kalau mau menggugat hasil ke MK pun harus dipikirkan, sebab yang memiliki legal standing sebagai pemohon yakni paslon yang merasa dikalahkan. Di Banjarbaru kan tidak ada paslon lain.

Kenapa? Ya, karena statusnya memang bukan melawan kotak kosong. Yaaa… kecuali MK menganggap ini sebagai kotak kosong, maka Lembaga Pemantau Pemilu tertentu bisa menjadi pemohon. Saya tidak apriori, tapi terus terang ini butuh energi dan waktu yang tidak sedikit untuk memperdebatkannya.

Lalu, bagaimana kita harusnya menanggapinya? Ya sederhana saja: jalankan saja peraturan yang sudah ditetapkan, mengabaikan ini niscaya membuat ‘kekacauan’ baru.

Lagi pula, asas praduga ‘rechtmatige‘ sudah bisa menjamin bahwa pilwali ini akan berlangsung dengan lancar dan selesai dalam artian menghantarkan Lisa-Wartono sebagai Wali Kota Banjarbaru terpilih. Toh, walaupun ada gugatan atau perubahan terhadap norma KPU ini (nanti) maka tetap tidak boleh menganulir hasil pemilihan 27 November 2024.

Tidak bisa dipungkiri, menetasnya SK KPU diatas mendekati hari pencoblosan menyebabkan syak wasangka berlebih. Memang seharusnya kejadian seperti ini terdeteksi di awal, dan faktanya pengaturan ini tidak ada di PKPU apalagi UU Pilkada.

Saya tidak menutup telinga dari beberapa ahli dan pengamat politik yang berteriak demi menjaga ‘perasaan publik’. Mereka menyatakan semestinya ada mekanisme penggantian calon jika dibatalkan. Sebab pihak yang dirugikan sebenarnya masyarakat, pendukung, dan juga parpol pengusung calon yang didiskualifikasi itu sendiri. Atau setidaknya pihak penyelenggara bisa mengakomodir kotak kosong sebagai pilihan rakyat di surat suara.

Opsi mencetak ulang surat suara pasca didiskualifikasinya Aditya-Said Abdullah pun tidak bisa dilakukan, karena teknis dan limitasi waktu, serta regulasi yang tidak memberi celah untuk itu. Mau mengubah? Bisa, tapi bicara hal tersebut harus pada tataran regulasi utama yakni UU dan PKPU.

Sekali lagi beleid KPU menghadapi ‘vaccuum of norm’ (kekosongan norma) ini terasa pahit memang, laksana obat, tapi mudah-mudahan ini menghindarkan dari akibat yang lebih fatal lagi. Tidak perlu mendramatisir lebih jauh, demokrasi kita masih berjalan, satu hari lagi kita mencoblos. Kita lihat nanti bagaimana suara rakyat akan menjawabnya.

Negara kita negara hukum. Jelas ini bukan masalah nafsu siapa yang merasa paling benar, tapi perhatikan apa yang diatur dan berlaku. Itulah ‘rule of the game’ kita.

Sebagai rakyat yang peduli demokrasi, tugas kita terus mengawal semua prosesnya sesuai dengan aturan. Jika ada keputusan, sudah selayaknya kita menghormati tanpa harus menyalahkan pihak lain.

GIM

Author