Oleh: Novyandi Saputra
Peringatan Hari Bumi setiap tahun di tanggal 22 April menjadi pengingat keras bahwa planet ini kian rapuh di tengah ulah manusia. Polusi udara, air, dan tanah sudah menjadi tema klasik dalam berbagai kampanye lingkungan, namun ada satu bentuk polusi yang kerap luput dari perhatian: polusi bunyi. Kita hidup di zaman di mana kebisingan telah menjadi latar permanen kehidupan, dan ironisnya, sebagian besar dari kita menganggapnya normal. Padahal, bunyi berlebihan adalah bentuk polusi yang menghancurkan, memperparah tekanan ekologis, bahkan mempercepat ketidakstabilan lingkungan yang sudah rapuh akibat perubahan iklim.
Polusi bunyi adalah kehadiran suara berlebih yang merusak keseimbangan alami. World Health Organization (WHO) mengategorikan kebisingan lingkungan sebagai ancaman kesehatan publik yang serius, setara dengan polusi udara dan air. Kebisingan berlebih berhubungan erat dengan peningkatan risiko gangguan tidur, hipertensi, penyakit jantung iskemik, stres kronis, hingga gangguan kognitif pada anak-anak. Namun yang lebih mengkhawatirkan, polusi bunyi merambah ke seluruh rantai kehidupan di planet ini. Penelitian terbaru yang diterbitkan dalam Frontiers in Ecology and the Environment (2023) menemukan bahwa gangguan suara dari aktivitas manusia menyebabkan hewan-hewan kehilangan kemampuan berburu, kawin, dan menjaga wilayahnya. Bagi spesies yang bergantung pada suara untuk navigasi seperti burung, paus, dan kelelawar, kebisingan menjadi ancaman eksistensial.
Dalam konteks perubahan iklim, polusi bunyi berperan sebagai pendorong tekanan tambahan terhadap spesies yang sudah berjuang bertahan hidup. Misalnya, kenaikan suhu global memaksa hewan berpindah ke habitat baru yang lebih sejuk; namun di habitat baru itu, mereka seringkali menghadapi kebisingan kota, jalan raya, atau industri. Ini menciptakan fenomena “jebakan ekologis”, di mana hewan memilih habitat yang secara suhu nyaman, tetapi secara akustik berbahaya. Sebuah studi di Global Change Biology (2022) memperlihatkan bahwa burung penyanyi di Amerika Utara kini harus beradaptasi tidak hanya terhadap perubahan suhu, tetapi juga terhadap perubahan pola suara di lingkungan mereka, menyebabkan disfungsi dalam pola migrasi dan reproduksi.
Menariknya, polusi bunyi tidak hanya datang dari mesin, kendaraan, atau industri berat. Musik, sesuatu yang kita rayakan sebagai ekspresi budaya dan emosional, juga menjadi bagian dari masalah. Festival musik skala besar di alam terbuka, penggunaan pengeras suara di kawasan wisata alam, bahkan kafe-kafe terbuka yang berlomba menyalakan musik keras, secara perlahan menghancurkan kesunyian alami. Penelitian oleh Shannon et al. (2020) menunjukkan bahwa hewan di kawasan wisata alam yang ramai musik memperlihatkan tingkat hormon stres yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hewan di kawasan hening. Musik yang diputar sembarangan di ruang publik tanpa kontrol volume tidak hanya mengganggu manusia lain, tetapi juga makhluk hidup lain yang peka terhadap perubahan suara sekecil apapun. Dalam beberapa kasus, festival musik outdoor bahkan berkontribusi pada migrasi paksa hewan-hewan kecil dari habitat mereka, persis di tengah tekanan perubahan iklim yang sudah berat.
Peringatan Hari Bumi tahun ini harus membawa kita untuk lebih jujur membaca luka-luka bumi yang terjadi di lingkungan terdekat, termasuk di Kalimantan Selatan. Selama beberapa dekade terakhir, Kalimantan Selatan mengalami tekanan ekologis yang semakin berat akibat eksploitasi sumber daya alam yang masif, perubahan tata guna lahan, dan kini diperparah oleh ancaman perubahan iklim. Banjir besar yang melanda hampir seluruh kabupaten dan kota di awal tahun 2021 menjadi peristiwa traumatis yang membuka mata banyak orang: kerusakan lingkungan tidak lagi abstrak, tetapi sudah menjadi realitas sehari-hari. Sungai-sungai besar seperti Barito, Martapura, dan Nagara, yang dulu menjadi nadi kehidupan, kini semakin rentan meluap karena daya dukung alam yang melemah. Di tengah semua itu, ada satu bentuk tekanan lingkungan yang luput diperhatikan: polusi bunyi.
Pembangunan infrastruktur masif di Kalimantan Selatan, termasuk perluasan tambang, lalu lintas alat berat, proyek jalan tol, hingga urbanisasi cepat di kota-kota seperti Banjarmasin, Banjarbaru, dan Martapura, membawa lonjakan kebisingan yang drastis. Setiap hari, suara mesin kendaraan berat, suara alat-alat konstruksi, dan hiruk-pikuk urbanisasi membelah keheningan alam. Di kawasan pedesaan dan hutan, aktivitas pertambangan dan pembukaan lahan juga membawa kebisingan ke habitat-habitat alami yang dulunya sunyi. Ini bukan hanya mengganggu kenyamanan manusia, tetapi juga memukul keras kehidupan satwa liar lokal seperti bekantan, burung rangkong, owa-owa, dan berbagai spesies endemik lainnya yang bergantung pada suara alami untuk bertahan hidup.
Tak hanya kebisingan dari industri berat, geliat sektor pariwisata dan budaya di Kalimantan Selatan juga berkontribusi terhadap perubahan lanskap akustik ini. Festival musik, lomba-lomba karaoke terbuka, pesta rakyat, dan perayaan-perayaan lain kini sering menggunakan pengeras suara dengan volume tinggi tanpa memperhatikan dampak terhadap lingkungan sekitar. Bahkan di kawasan wisata alam seperti Riam Kanan, Tahura Sultan Adam, atau pesisir laut Tanah Laut, penggunaan musik keras kadang mengganggu pengalaman alam yang seharusnya hening dan menenangkan. Musik yang seharusnya menjadi perayaan budaya lokal kadang justru berubah menjadi bentuk lain dari invasi kebisingan, memperparah stres ekologis di kawasan yang sensitif.
Dalam konteks perubahan iklim, kondisi Kalimantan Selatan menjadi lebih rentan karena tekanan ini berlapis-lapis. Ketika suhu meningkat, hujan menjadi tidak menentu, dan ancaman bencana seperti kebakaran hutan, banjir, dan kekeringan semakin sering terjadi, maka tekanan bunyi memperparah ketidakstabilan ekosistem lokal. Misalnya, saat musim kering panjang melanda, banyak hewan mencari sumber air baru di wilayah yang lebih dekat ke pemukiman manusia, namun mereka disambut dengan kebisingan lalu lintas atau aktivitas manusia yang tinggi. Ini menyebabkan tekanan ganda: kekurangan sumber daya dan stres akustik, yang dalam jangka panjang bisa menyebabkan penurunan populasi satwa liar.
David Wallace-Wells dalam bukunya Bumi yang Tak Dapat Dihuni dengan gamblang mengingatkan bahwa dampak perubahan iklim bukanlah sesuatu yang akan terjadi “nanti”, melainkan telah nyata hari ini dalam bentuk kerusakan sistemik yang sulit kita hentikan. Kalimatnya, “Kita hidup di dalam bencana yang sedang berlangsung, hanya saja kita terlalu terbiasa untuk merasakannya,” sangat relevan untuk melihat situasi Kalimantan Selatan hari ini. Kita sudah hidup dalam kerusakan itu: ketika sungai-sungai tak lagi dapat diandalkan, ketika musim berganti tanpa pola, ketika suara burung di hutan terdengar semakin jarang.
Maka memperingati Hari Bumi di Kalimantan Selatan seharusnya bukan sekadar ajakan menanam pohon atau membersihkan sampah di sungai, tetapi juga ajakan untuk menghormati suara alam. Kita perlu mulai mempertimbangkan regulasi penggunaan pengeras suara di ruang publik, membatasi volume musik di kawasan konservasi, membangun festival budaya yang menghormati batas-batas akustik alami, hingga membuat taman-taman kota sebagai ruang hening untuk manusia dan makhluk hidup lain. Kesadaran akan polusi bunyi harus menjadi bagian integral dari agenda adaptasi perubahan iklim di daerah ini.
Ke depan, menjaga Kalimantan Selatan agar tetap layak huni tidak cukup hanya berbicara tentang menahan laju tambang atau menanam seribu pohon. Kita perlu memperjuangkan kembalinya keheningan; sebuah kondisi ekologis yang memungkinkan semua makhluk hidup berkomunikasi, bernafas, dan bertahan. Dunia yang lebih sunyi bukan berarti dunia yang pasif, melainkan dunia yang lebih peka, lebih penuh perhatian terhadap kehidupan lain. Di tengah dunia yang kian bising dan panas, keheningan adalah bentuk perlawanan yang paling radikal, dan juga paling penuh harapan.
———————————————————
*Novyandi saputra Merupakan komposer dan musisi multi instrumentalis. Terlibat aktif bergerak di seni rupa baik sebagai fasilitator maupun kreator. Novyandi banyak melakukan eksplorasi melalui karyanya pada lokus pengembangan Gamalan Banjar yang post-cultural. Novyandi Saputra juga merupakan etnomusikolog dengan basis riset pada wilayah budaya Banjar. belajar gamalan Banjar pada Sanggar Anak Pandawa, Komposer di gamalan Akaracita. Novyandi Juga aktif hadir di forum-forum ilmiah baik tingkat lokal, nasional dan Internasional. Beberapa karya buku Novyandi yang sudah terbit; Bunyi Banjar dan Gamalan Banjar serta beberapa Jurnal Ilmiah, kritik dan opini seni budaya. Beberapa tahun terakhir aktif menulis dan mengadvokasi kebijakan kebudayaan di daerah (Kalimantan Selatan) dan nasional. Novyandi juga aktif sebagai Dosen musik di Prodi Pendidikan Seni Pertunjukan FKIP ULM, Sekretaris Wilayah GEKRAFS Kalsel, Pimpinan Wilayah GP Ansor Kalimantan Selatan, sejak 2021 menjadi anggota dari Koalisi Seni Indonesia dan menjadi Anggota pengurus di Asosiasi Tradisi Lisan Kalimantan Selatan, dan Direktur NSAPM sebuah kelompok Kolektif inisiatif untuk seni dan budaya.