INTERAKSI.CO, Jakarta — Prosesi penobatan Cevi Yusuf Isnendar sebagai “Raja Kebudayaan Banjar Kalimantan” oleh Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon pada 6 Mei 2025 di Keraton Majapahit, Jakarta, memicu gelombang penolakan.
Penolakan datang dari sejumlah tokoh adat Kalimantan Selatan yang mempertanyakan legitimasi gelar tersebut.
Sebanyak 13 adipati dan pejabat adat Kesultanan Banjar dengan tegas menolak keabsahan acara yang dinilai tidak menghormati struktur adat dan silsilah yang berlaku dalam budaya Banjar.
Surat keberatan resmi bahkan telah dilayangkan sejak 3 Mei 2025, tiga hari sebelum penobatan berlangsung.
Para adipati, termasuk Pangeran Nurmaulana dari Banjarmasin dan Pangeran Mardekansyah dari Kabupaten Banjar, mengecam penobatan tersebut.
Mereka menegaskan bahwa tindakan itu dilakukan secara sepihak, tanpa melibatkan struktur adat resmi Kesultanan Banjar yang sah di Kalimantan Selatan.
Baca juga: Unggah Meme Jokowi dan Prabowo Berciuman, Mahasiswi ITB Ditangkap Bareskrim
Penobatan yang diprakarsai oleh AM Hendropriyono sebagai tuan rumah dan dihadiri sejumlah pejabat nasional ini dinilai melangkahi proses adat yang berlaku.
Dalam maklumat resmi Kesultanan Banjar yang disampaikan oleh juru bicara Pangeran Nurmaulana, disebutkan bahwa gelar yang disandangkan kepada Cevi tidak sah karena tidak melalui prosesi adat Badudus, serta tidak pernah mendapat restu dari Kesultanan.
“Cevi Yusuf Isnendar tidak dikenal oleh masyarakat Banjar dan tidak pernah berdomisili di wilayah budaya Banjar. Ia lahir dan besar di Cianjur,” tegas Pangeran Nurmaulana.
Secara silsilah, Cevi memang memiliki garis keturunan dari Pangeran Hidayatullah, namun hanya melalui jalur ibu. Sedangkan tradisi Banjar menggunakan sistem patrilineal atau garis ayah, sehingga klaim atas gelar ‘Pangeran’ ataupun ‘Sultan’ dinilai tidak sah.
Masyarakat adat Banjar juga menilai bahwa kebudayaan tidak bisa direkayasa atau ditetapkan dari luar komunitasnya. Kebudayaan Banjar tumbuh dari nilai, tradisi, dan keterikatan sosial yang kuat antar generasi.
Penobatan yang tidak menyentuh akar budaya ini dianggap merusak marwah Kesultanan yang telah direvitalisasi sejak tahun 2010 melalui Musyawarah Tinggi Adat.
Kontroversi ini menyoroti urgensi pelestarian adat istiadat secara otentik di tengah gempuran politik simbolik. Budaya bukan sekadar gelar, tetapi identitas yang dijaga oleh masyarakatnya sendiri.