Kalau darurat sampah tidak disertai gerakan dan upaya sungguh-sungguh, terutama dari Pemerintah Kota, mustahil menjadi gerakan yang masif di tengah masyarakat.

“Darurat”, hanya jadi pernyataan pejabat, atau bahkan sekedar himbauan, dan akhirnya hanya berbuah gerakan-gerakan kecil tanpa arti.

Bagaimana kalau sekalian saja kita gaungkan “revolusi darurat sampah”. Dengan demikian cara berpikir mengatasi sampah harus lebih revolusioner. Bagaimana caranya itu? Mari kita rumuskan bersama-sama.

Mungkin saja dimulai dengan menghidupkan gotong royong di tiap RT dan lingkungan tempat tinggal. Bahkan di tiap kantor, tiap perusahaan, tiap instansi, tiap sekolah serta kampus, dan organisasi. Semua harus bertanggung jawab terhadap kebersihan lingkungannya masing-masing, minimal radius 20 meter dari tempat dimana rumah, kantor, perusahaan, sekolah atau organisasi tersebut berada, lingkungannya bersih. Kita canangkan, tiap Jumat pagi dari jam 6 sd jam 9, semua warga kota turun bergotong royong membersihkan lingkungannya. Sampah yang didapatkan di lingkungannya jangan dibuang, tapi diolah pada lingkungan masing-masing. Jangan buang ketempat orang lain, pecahkan dan cari solusi problem sampah di lingkungan masing-masing.

Kalau gotong royong ini bisa berjalan tiap jumat dan konsisten, sekali pun hari hujan, saya yakin hanya dalam waktu 6 bulan, akan jadi gerakan yang revolusioner dalam menumbuhkan kepedulian warga terhadap sampah. Tidak akan ada lagi yang suka “mambarang, purici, marigat, bakoredak” terhadap lingkungannya.

Selanjutnya, seluruh TPS yang semula Tempat Pembuangan Sementara, diubah menjadi Tempat Pengolahan Sementara. Di tempat itu sudah ada sejumlah orang yang ditugaskan oleh Dinas Lingkungah Hidup, bekerja mengolah sampah dengan peralatan yang memadai. Misalnya, mampu mengolah setidaknya 50 sampai 100 ton sampah dalam sehari. Bagaimana bentuk dan jenis alatnya, mari kita diskusi lebih teknis.

Merubah TPA yang semula Tempat Pembuangan Akhir, menjadi Tempat Pengolahan Akhir. Memfinalisasi segala yang sudah diolah di tiap-tiap TPS. Di TPA, orientasinya sudah untung atau penghasilan. Sampah sudah berubah menjadi BBM, biogas dan listrik, pupuk, pakan lalat, pelet, batako, dan lain sebagainya. Pada TPA tidak ada lagi yang tidak bernilai, tapi semua keluaran sampah sudah menjadi uang yang memberikan konstirbusi bagi pendapatan pemerintah kota. Bagaimana caranya? Mari juga kita diskusikan lebih teknis.

Semua hal di atas, hanya mungkin dilakukan bila Pemerintah Kota, serius. Kalau sekedarnya saja, apalagi sahibar pencitraan, maka tidak akan lahir revolusi darurat sampah. Bila itu yang terjadi, kita nikmati saja kota ini dikempung sampah di semua lininya, bahkan sampai ke tempat tidur kita.

Penulis: Noorhalis Majid

Author