Dipastikan tahun 2026 kita akan memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru. Sekarang prosesnya terus dibahas melului inisiatif DPR RI, dengan mendengarkan dan mendapat berbagai masukan dari publik.
Semakin dibahas, persoalan yang justru mengerucut adalah perebutan kewenangan antara Kepolisian dengan Kejaksaan. Padahal kedua lembaga ini citranya sama-sama tidak bagus, bahkan sedang busuk-busuknya, di tengah kewenangannya yang begitu besar.
Bagi warga, mau Kepolisian atau pun Kejaksaan, sama-sama tidak memberikan jaminan tentang perlindungan dan keadilan. Di tangan polisi dan jaksa yang nakal, sebagus apapun KUHAP, tetap menjadi busuk, dan akhirnya hukum hanya menjadi alat pemerasan.
Apalagi ketika KUHAP itu sendiri semangatnya masih “pemenjaraan”. Sekali pun KUHAP baru, bila unjungnya pemenjaraan, maka merupakan sesuatu yang purba. Bukankah pemenjaraan merupakan cara paling purba dalam memberikan efek jera kepada pelanggar hukum? Dan cara itu ternyata masih dipertahankan.
Kenapa warga yang dianggap bersalah harus dipenjara? Kapan negara mengoreksi dirinya ketika ada warga yang harus berurusan dengan hukum? Mestinya, ketika ada warga yang dianggap melanggar hukum, negara langsung mengoreksi dirinya, tentang apa yang salah dan kurang dari kebijakan, pendidikan, pelayanan publik, dan lain sebagainya. Sebab bila negara memerankan dirinya dengan baik, kemungkinan besar tidak ada pelanggaran hukum. Kesalahan warga, menjadi bagian dari introspeksi penyelenggara negara dalam menentukan berbagai kebijakannya.
Kalau pun harus pemenjaraan, di negara-negara Skandinavia misalnya, tempat dimana segala tata kelola pemerintahan menjadi rujukan. Penjara di negara-negara tersebut lebih berfokus pada rehabilitasi dari pada hukuman. Pun di Belanda, penjara mereka kosong, bahkan disewakan untuk negara lain. Karena ketika ada satu bentuk kejahatan yang dilakukan warga, negara langsung mengoreksi dirinya untuk berbenah. Kejahatan terakhir di Belanda yang harus masuk penjara karena pembunuhan, terjadi tahun 2014, menggambarkan betapa minimnya tindak pidana.
Dengan KUHAP yang baru, adakah ruang besar soal rehabilitasi? Bukankah 70% penghuni penjara merupakan kasus narkoba? Kalau pemenjaraan dan bukan rehabilitasi, maka semakin suburlah narkoba. Bagaimana pula peluang restorative justice? Bukan hanya kasus hukum yang menimpa anak di bawah umur, tapi juga soal besaran nilai dari kasus yang berpotensi merugikan negara. Kasus hukum orang per orang yang nilai kerugiannya hanya 10-20 juta, setelah ditangani secara hukum, negara yang tidak tahu menahu kasus tersebut, justru rugi 50 juta, karena seluruh tahapan memerlukan biaya, mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemenjaraan, semua biayanya ditanggung oleh negara.
Mungkinkan kita memiliki KUHAP yang benar-benar baru, yang mampu mengoreksi kebijakan dan tata kelola negara, berorientasi pada rehabilitasi dan mengutamakan restorative justice, agar keadilan bisa ditegakkan dan martabat manusia dimuliakan?
Penulis: Noorhalis Majid