Kami berjuang merantau kuliah ke Kalimantan dan kembali untuk membangun Papua.
Tapi, apa yang pemerintah berikan? Hutan kami dibabat, bahkan laut seindah Raja Ampat itu kalian ambil.
INTERAKSI.CO, Banjarmasin – Suara keresahan itu terdengar dari pelantang suara yang digenggam seorang mahasiswi asal Papua.
Dia adalah Farida Anselma Mogan, mahasiswi Keperawatan Universitas Sari Mulia yang berasal dari Kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan.
Dirinya rela merantau jauh ke Banjarmasin demi belajar sekaligus mencari pengalaman.
Dengan harapan, kelak ia bisa kembali untuk membangun tanah kelahiran menjadi lebih baik. Namun kenyataan yang ia rasakan justru membuat impiannya itu terasa berat.
Masyarakat di kampung halamannya, beber Farida, jauh dari kata sejahtera. Dia memperkirakan, sekitar 85 persen hutan di wilayahnya dibabat demi kepentingan perkebunan kelapa sawit.
“Pengalaman di daerah saya sendiri menyedihkan. Karena perusahaan sawit masuk, kami sebagai pemilik (lahan) mau makan apa? kata Farida kepada sejumlah wartawan seusai berorasi dalam Aksi Kamisan Kalsel ke-71, Kamis (12/6/2025) petang.

Baca juga: Viral Main eFootball di Kantor, Tenaga Kontrak Balangan Kini Jadi Petugas Kebersihan
“Kami mau makan saja, harus buat proposal. Kami ingin biaya pendidikan, harus buat proposal. Itupun harus berkelahi dulu dengan perusahaan sawit,” sambungnya.
Aksi Kamisan Kalsel ke-71 kali ini mengangkat tema “Dari Meratus ke Raja Ampat: Stop Deforestasi dan Tambang Ugal-Ugalan.”
Lebih dari 20 massa aksi membentangkan kain merah bertuliskan “#SaveMeratus #EndCoal” di pinggir Jalan Brigjen Hasan Basry, tepat di depan gerbang dua Universitas Lambung Mangkurat.
Tak hanya itu, sejumlah massa aksi juga membawa selebaran, beberapa di antaranya bertuliskan “Rusak Bumi dengan Dalih Bangun Negeri” dan “Di Tanah Kami Nyawa Tak Semahal Tambang: SABRIANSYAH DIBUNUH.”

Baca juga: Aksi Kamisan Kalsel ke-70: Ingatkan Tragedi Jumat Kelabu yang Belum Tuntas
Koordinator Aksi Kamisan Kalsel, Theofilus Girsang, menjelaskan mereka mengangkat isu Meratus dan Raja Ampat karena keduanya mengalami penderitaan yang serupa akibat aktivitas tambang dan deforestasi.
Tanah di Pegunungan Meratus, kata Theo, terus dikeruk oleh perusahaan tambang batubara dan perkebunan kelapa sawit. Hal serupa juga terjadi di Raja Ampat, Papua Barat Daya, yang menjadi sasaran eksploitasi industri.
“Persentase deforestasi di Kalimantan Selatan dan juga Papua setiap tahunnya meningkat. Itu menjadi keresahan kita. Alam kita dihabisi oleh orang-orang serakah dan dikasih izin oleh pemerintah,” jelas Theo.

Menanggapi pencabutan empat izin tambang nikel di Raja Ampat, Theo menilai langkah itu belum cukup jika hanya sebatas mencabut izin. Ia menekankan perlunya tindak lanjut berupa pemulihan lingkungan.
“Perlu juga ada proses penghijauan kembali. Itu harus dilakukan oleh pemerintah dan kami tidak mau melihat begitu saja izinnya dicabut, tapi kita juga memantau ke depannya,” tukasnya.