Heran, setiap kali seleksi anggota KPID Kalimantan Selatan, selalu saja berseleweran isu beredar. Ada isu keraguan atas independensi tim seleksi, isu soal ujian yang bocor, isu markup nilai, isu orang titipan, isu backing orang kuat dan tentu isu distribusi kepentingan kelompok.

Bahkan, ketika orang titipan tidak terakomodir dalam pemilihan, kabarnya dapat menyandera keberlangsungan lembaga KPID itu sendiri, akibatnya tidak diberi anggaran, tidak diperhatikan, dan tidak dapat menjalankan fungsi sebagaimana mestinya.

Tidak jarang persaingan antar calon berlangsung kurang sehat, saling sikut – saling jegal. Ada surat kaleng atas nama suara publik, ada pembusukan bersifat pribadi, ada kebocoran hasil psikotes dan CAT, dan berbagai cara tidak sehat lainnya.

Sebegitu bergengsikah KPID, sehingga harus diombang-ambing dan ditarik ulur kepentingan? Kapan kita dapat menghasilkan anggota KPID yang mumpuni, yang mampu bekerja dengan segala kompetensi, pengalaman dan pengetahuan tentang penyiaran publik? Atau sekedar deretan orang titipan yang buta pengetahuan dan pengalaman soal lembaga penyiaran publik.

Bagi publik, di tengah membanjirnya narasi liar lagi sampah, mengakibatkan terpaparnya publik oleh berita dan konten yang tidak bermutu, pada titik itu keberadaan KPID sangatlah penting. KPID diharapkan mampu mengawal narasi-narasi penyeimbang dari lembaga penyiaran publik, guna menjaga “kewarasan”, agar publik menkonsumsi narasi yang menyehatkan akal dan pikirannya.

Tapi bagaimana mungkin terpilih anggota KPID yang bermutu, kalau prosesnya ditarik ulur dan diombang-ambing kepentingan? Proses seleksi seperti ini, akan memperburuk sistem perekrutan kelembagaan lainnya, sehingga jangan heran, setiap kali terjadi perekrutan lembaga atau komisi di daerah, selalu kasak-kusuk ditunggangi berbagai kepentingan.

Beruntung Gubernur berkomitmen pada proses yang jujur dan professional, serta tidak memberi peluang adanya calon “titipan”. Tinggal apakah Tim Seleksi dan Komisi I DPRD Kalimantan Selatan mampu menjalankan tugasnya secara independent, konsisten dan berfokus pada kompetensi, pengetahuan dan track record para calon, sehingga tidak terpilih calon bermasalah, terutama terkait etik, moral dan lemahnya kapasitas terkait lembaga penyiaran publik.

Penulis: Noorhalis Majid

Baca juga: 100 Hari Bermakna, atau “Sahibar” Serimonial?

Author