Oleh Puja Mandela

SENJA DJINGGA baru saja meraih pencapaian baru. Jika saat merilis Baju Merah tahun lalu mereka sudah maju satu langkah, kini dengan mini album “Semoga”, Senja Djingga sudah maju sepuluh langkah.

Ke depan, mereka akan semakin jauh lagi melangkah jika bisa melakukan satu hal yang akan saya sampaikan di bagian akhir tulisan ini.

Ari Tirta Dinata, Anfar, Ivan, Erwin, dan Aldy akhirnya bisa melepaskan rasa gugupnya saat tampil di mini stage Owner Coffe Pal 1 Kecamatan Simpang Empat, Tanah Bumbu, Minggu (22/12/2024). Di sana, mereka memainkan seluruh katalog lagu di album Semoga.

Di hadapan mereka, puluhan penonton akhirnya bisa duduk dengan enjoy setelah sore harinya kawasan pesisir sempat dilanda hujan disertai angin kencang. Di antara mereka adalah para musisi Tanah Bumbu, baik dari generasi yang sudah eksis sejak era 90-an maupun para musisi yang berusia lebih muda.

Di sana ada beberapa para personel Primitive Monkey Noose; Richy Petroza, Oveck, Ridho, dan Juli Yusman. Ada juga deretan musisi lawas Batulicin dan Pagatan; Tahank, Echal, Deddy, dan Chaly. Tak ketinggalan produser muda Tanah Bumbu, Prima Yuda Prawira.

Masih dalam meja yang sama, sejumlah musisi jazz Kotabaru ikut hadir. Mereka antara lain, Edo Al-Banjari, Yudi, Haris, dan Hendra. Bersama Chaly, mereka tergabung dalam kelompok jazz bernama Anxiety Disorder.

Selain mendapat dukungan penuh dari para musisi, Senja Djingga juga mendapat support dari sejumlah komunitas. Salah satu yang paling menonjol adalah Komunitas Vespa Iwak Karing Pagatan.

Setelah penampilan dua band pembuka: Gaskiw dan Oldfriend, Senja Djingga mulai menggeber penampilannya dengan “Keberadaanmu”, lagu pop up beat yang ditulis oleh sang gitaris, Ivan. Selanjutnya, “Semoga” mengalun dengan syahdu.

Dua lagu selesai. Sesi talkshow pun dimulai. Para personel Senja Djingga duduk berjejer di depan panggung, lalu MC, Dedy Naga, menanyakan beberapa hal. Di antaranya tentang rencana-rencana band itu ke depan.

Cerita di Balik ‘Riuh’

Arie Tirta Dinata kemudian menyebut salah satu lagu di album Semoga yang berjudul “Riuh” adalah jawaban dari tantangan yang saya berikan. Iya, tak lama setelah Baju Merah dirilis, saya sempat ngobrol-ngobrol dengan mereka dan meminta Senja Djingga membuat lirik lagu yang tidak memuat kata ‘aku’, ‘kamu’, dan ‘cinta’.

Sebenarnya saya hanya mencoba mengulang cerita-cerita klasik dalam musik populer di masa lalu. Pada 1966, Paul McCartney pernah diminta bibinya membuat lagu dengan tema yang bukan tentang percintaan. McCartney berhasil melakukannya, dan Papperback Writter sukses menjadi hits nomor satu di Billboard Amerika Serikat.

Hal yang sama pernah dilakukan George Harrison saat meminta Led Zeppelin membuat lagu balada. Pada 1973, Robert Plant Cs menjawabnya dengan The Rain Song yang sedikit mengutip notasi Something di bagian awal lagu.

Gobe, sang produser, lantas meminta penjelasan soal itu. Saya hanya ingin Senja Djingga membuat penulisan lirik dengan perspektif yang berbeda, alih-alih hanya menggunakan sudut pandang orang pertama dan orang kedua.

Bayangkan saja jika ada lima lagu di dalam sebuah album menggunakan perpektif penulisan lirik yang sama. Sementara alasan subjektifnya, dalam lagu-lagu bertema percintaan, diksi-diksi ‘aku’ dan ‘kamu’ sudah overused.

Akhirnya, Riuh benar-benar membuat riuh. Lagu itu lahir dengan kualitas yang oke. Tentu saja itu semua bukan karena saya. Hal itu terjadi memang karena mereka berbakat, potensial, dan terbuka dengan masukan dari orang lain.

Gobe pun bahkan menyebut Riuh sebagai upaya maksimalnya sebagai seorang produser. “Ini lagu yang paling memuaskan dari sisi produksi. “Isian gitarnya Ivan itu sampai empat lapis, dengan empat kali take,” katanya. Dan tanpa ragu, saya menyebut Riuh sebagai lagu terbaik dari Senja Djingga.

Di samping Riuh, Senja Djingga mendapat banyak apresiasi. Saat mereka memainkan Baju Merah, misalnya, Tahank, gitaris yang punya influence besar kepada Yngwie Malmsteen, beberapa kali memuji lagu tersebut. “Bagus lagunya ini,” ucapnya kepada Echal yang hidupnya lebih alternatif seperti idolanya, Nirvana.

Edo AL-Banjari, dari Anxiety Disorder, ikut memberikan pujian pada kualitas lagu dan produksi musik Senja Djingga. Edo menilai kualitas produksi lagu Senja Djingga mengingatkannya pada Coldplay dan 30 Second To Mars. “Semoga Senja Djingga menjadi band pertama di era ini yang bisa go nasional,” harapnya seraya menambahkan jika lagu favoritnya dari Senja Djingga berjudul Hilang Arah.

Sementara Richy Petroza memberikan aplaus kepada Gobe yang sudah berhasil memoles potensi Senja Djingga menjadi jauh lebih besar lagi. Dia tak segan menyebut Gobe sebagai aset musik Tanah Bumbu. Sementara kepada Senja Djingga, Richy meminta mereka terus berjalan dan melakukan upaya-upaya maksimal untuk mempromosikan album Semoga.

Deddy, mewakili musisi Pagatan, memberikan apresiasi yang besar atas keberhasilan Senja Djingga, dan Arie Tirta Dinata, sohib karibnya itu. Dia bahkan menawarkan sebuah konsep video klip ‘spesial’ untuk Senja Djingga. Sayangnya Arie langsung menolak mentah-mentah tawaran itu, tentu saja dengan nada bercanda.

“Jangan. Jangan. Aib itu,” kata Arie yang disambut tawa oleh rekan-rekannya di Komunitas Vespa Iwak Karing.

Rupanya, itu adalah video perjalanan Komunitas Vespa Iwak Karing sejauh 1.500 kilometer, dari Batulicin ke Yogyakarta. Dan di dalam video tersebut ada gambaran ‘kelakuan’ Arie yang dinilai ‘di luar nurul’ oleh teman-temannya. Begitulah persahabatan itu terjalin di antara mereka. Intens, penuh tawa, dan kehangatan.

Semoga…

Bagi Senja Djingga, Semoga tak hanya seperti mimpi, tetapi juga menjadi do’a agar mereka bisa terus berjalan di dunia industri musik yang teramat riuh.

Dan hari ini, mereka harus terus melangkah, terus belajar, terus berinovasi, memperluas cakrawala imajinasi, jangkauan suara yang mereka ciptakan, melakukan lebih banyak eksplorasi untuk menciptakan ide dan gagasan baru yang otentik.

Dan tentu saja ada satu hal lagi yang harus mereka pegang erat-erat setelah ini. Satu hal itu bernama konsistensi.

*

Penulis adalah pemimpin redaksi interaksidotco

Author