INTERAKSI.CO, Banjarmasin – Di tengah riuhnya skena punk Indonesia, Sukatani hadir sebagai suara perlawanan dari Purbalingga, Jawa Tengah.
Mengusung post-punk dan new wave, duo ini—Ovi alias ‘Twister Angel’ dan AI yang dikenal sebagai ‘Alectroguy’—menjadikan musik mereka sebagai medium kritik sosial yang tajam.
Dengan lirik-lirik yang membahas perjuangan kelas pekerja, ketimpangan ekonomi, dan kapitalisme yang menindas, Sukatani membuktikan bahwa punk bukan hanya soal musik, tetapi juga tentang gerakan.
Baca juga: Lagu ‘Bayar Bayar Bayar’ Diturunkan, Sukatani: Kami Tak Mau Ambil Risiko
Keunikan mereka semakin kuat dengan penggunaan dialek Banyumasan dalam lagu-lagunya. Hal ini memberi warna lokal yang khas, menjadikan Sukatani lebih dari sekadar band punk biasa—mereka adalah suara rakyat kecil yang berani menantang sistem.
Musik mereka terinspirasi dari band-band punk legendaris seperti Lost Cherries, Poison Girls, X-Ray Spex, Peter & the Test Tube Babies, hingga Cock Sparrer. Album terbaru mereka, Gelap Gempita (2023), berisi sembilan lagu penuh energi yang mengangkat tema kelam serta perlawanan terhadap ketidakadilan sosial.
Sukatani juga dikenal dengan aksi panggung yang unik dan penuh makna. Mereka kerap mengenakan balaclava serta membagikan sayuran kepada penonton—bukan sekadar gimmick, tetapi simbol solidaritas dan pesan untuk kembali ke akar perjuangan rakyat.
Tak hanya itu, mereka juga aktif dalam berbagai gerakan komunitas dan inisiatif sosial yang menyoroti isu lingkungan serta hak-hak kelas pekerja.
Dengan musik yang tajam dan semangat yang membara, Sukatani berhasil menarik perhatian pendengar yang haus akan suara pemberontakan.
Karya-karya mereka dapat dinikmati melalui platform streaming seperti Spotify, sementara video-video mereka yang penuh pesan perlawanan bisa ditemukan di YouTube.
Lebih dari sekadar band punk, Sukatani adalah simbol perjuangan. Mereka mengingatkan kita bahwa musik bisa menjadi alat perubahan dan bahwa suara dari Purbalingga pun bisa mengguncang sistem yang mapan.