Oleh Puja Mandela

Pada pertengahan 1800-an, sebuah wilayah di tenggara Kalimantan sudah ramai dengan aktivitas pelayaran. Kapal-kapal hilir mudik di kawasan sungai dan laut.

Kekayaan alamnya melimpah. Lahannya adalah satu di antara yang terbaik. Itu membuat wilayah ini menjadi sangat seksi dan mulai menjadi tujuan diaspora orang-orang Bugis dari Sulawesi Selatan.

Secara geografis, letaknya sangat strategis, karena berbatasan dengan Selat Makassar dan Laut Jawa. Posisinya juga cukup dekat dengan Pulau Sulawesi. Pada 1844 wilayah ini sudah dikenal dengan sebutan Onder Afdeeling van Tanah Boemboe.

Mengutip buku Lontara Pagatan, dari laporan Survei Negara Hindia Belanda tahun 1853 dan 1854, wilayah Tanah Bumbu dilaporkan berpenduduk dengan kepadatan 25 orang per satu kilometer.

Wilayah ini memiliki sejumlah distrik yaitu Pagatan, Kusan, Batulicin, Cantung, kemudian Bangkalaan, Sampanahan, Manunggal, Buntar Laut, Cengal dan Sebamban. Pada masa itu, wilayah ini sudah menghasilkan komoditas rotan dan sarang burung walet.

Dari data Schwaner, daerah Kampung Pagatan me-miliki jumlah penduduk terbanyak yakni 2.100 orang. Sementara itu 14 kampung lainnya memiliki jumlah penduduk yang bervariasi. Ada yang berpenduduk jarang dengan jumlah hanya sekitar 20 sampai 50-an jiwa seperti Sungai Kumpa, Sungai Nipah, Sungai Lumbu, Sarang Alang, Sungai Betung dan Sungai Bakau.

Sementara itu, daerah lainnya ada yang berpenduduk sedang, antara 70 sampai 170-an jiwa, seperti di daerah Saring, Sungai Dua Pumpung, Sungai Dua Besar, Tanah Danderi, Madalang, Paduntingan Kanan dan Kiri serta Sungai Saring.

Pagatan memiliki jumlah penduduk yang cukup besar karena faktor migrasi orang Bugis yang berlangsung secara kontinu hingga abad ke-20. Migrasi tersebut tidak hanya yang
bermata pencaharian pedagang, juga nelayan, bahkan petani yang membuka lahan lahan pertanian di daerah Pagatan.

Ekspansi Bangsa Eropa ke Tanah Bumbu

Dalam perkembangannya, menjelang tahun 1900-an, orang orang Eropa mulai meneliti dan mengeksplorasi daerah Tanah Bumbu dan sekitarnya. Seperti di daerah pegunungan Kusan, Tanah Bumbu, dan daerah Pasir, para ahli geologi pemerintah Hindia Belanda menemukan banyak bahan tambang, sehingga mereka menyimpulkan wilayah Tanah Bumbu memiliki struktur geologi unik.

Berdasarkan penelitian Von Dewall, pegunungan di Tanah Bumbu memiliki cadangan emas dan berlian dengan karakter batuan dari mineral. Pada 1885 di wilayah Tanah Bumbu ditemukan batuan unik di sebuah sungai yang mengalir ke Selat Pulau Laut.

Tanah-tanah di sekitar sungai ini memiliki struktur kandungan berupa serpentin, kuarsa, diorit, dan kuarsa-sekis. Demikian halnya di daerah teluk Pamukan, sebelah kanan Sungai Sampanahan, Von Dewall menemukan batu kristal tua.

Kemudian kandungan alam-nya pun melimpah, menjadi penarik bagi orang-orang Bugis ber-diaspora ke daerah ini. Arus perpindahan orang-orang Bugis ke pesisir timur dan tenggara Borneo ini, menurut Jacquiline Linneton, dapat dikategorikan sebagai diaspora akibat ekspansi perdagangan Bugis atau expansion of Bugis trade.

Diaspora orang Bugis di wilayah Tanah Bumbu meliputi daerah-daerah pesisir yang menjadi wilayah kerajaan-kerajaan kecil yakni Pagatan, Kusan, Batulicin, Cantung, Bangkalaan, Sampanahan, Manunggal, Cengal, Sebamban dan Pulau Laut.

Pagatan Menjadi Magnet

Kota Pagatan selalu menjadi daya tarik sejak dahulu. Dengan luas sekitar 3,38 mil persegi, wilayah geografisnya merupakan daerah yang kaya dan memiliki lahan lahan terbaik untuk dibudidayakan.

Menurut Schwaner, pada tahun 1853 luas wilayah geografis daerah Pagatan mencakup area seluas 3,38 mil persegi dan dihuni oleh 3.260 orang Bugis. Daerah Pagatan, menurut Schwaner, semua penduduknya bersuku bangsa Bugis. Tidak terdapat orang Dayak, Banjar maupun Jawa di wilayah ini.

Schwaner menggambarkan penduduk Pagatan pada pertengahan abad ke-19 cukup makmur. Walaupun penduduknya termasuk padat, tetapi hasil hasil alam dan kesuburan daerahnya membuat penduduk di wilayah hidup berkecukupan. Di wilayah Pagatan, terdapat 15 kampung yang memiliki jumlah penduduk sedang.

Begitulah. Sejak dahulu Tanah Bumbu layaknya magnet. Orang terus berdatangan dari segala penjuru. Hingga pada tahun 2020, penduduk di Tanah Bumbu sudah mencapai 322.646 jiwa. Bertambah kurang lebih 26 ribu jiwa jika dibanding 10 tahun sebelumnya yang berjumlah 296.581 jiwa.

Sampai hari ini, kekayaan sumber daya alam Tanah Bumbu tak habis-habis, bahkan terus-terusan dieksploitasi. Tentu saja ada banyak sisi negatifnya, tetapi kita tak boleh begitu saja mengabaikan sisi positifnya.

Bagaimana pun kondisinya, bagaimana pun situasinya, Tanah Bumbu sudah menghidupi begitu banyak manusia, dari satu generasi ke generasi lainnya. Karena alasan itulah, saya, Anda, atau siapa saja yang pernah menghirup udara di Tanah Bumbu, akan tetap mencintainya.

Author