INTERAKSI.CO, Jakarta – Pemerintah pusat tengah menggodok rencana strategis untuk melakukan sentralisasi tata kelola aparatur sipil negara (ASN) guru di seluruh Indonesia.
Rencana ini bertujuan mengatasi ketimpangan distribusi tenaga pendidik antar daerah, terutama di kawasan 3T (tertinggal, terdepan, terluar), yang selama ini menjadi masalah kronis pendidikan nasional.
Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Atip Latipulhayat, mengonfirmasi bahwa teknis perubahan tersebut masih dalam tahap pembahasan lintas kementerian.
“Isu ini sedang kami diskusikan dengan kementerian terkait. Kami akan sampaikan secara resmi setelah prosesnya rampung,” ujar Atip, Sabtu, 19 April 2025.
Beberapa kementerian yang terlibat dalam pembahasan ini antara lain Kemendikti Saintek, Kementerian Agama, dan Kementerian Dalam Negeri. Nantinya, kebijakan ini akan masuk dalam RUU Perubahan atas UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas).
Baca juga: Efek Tarif Trump, 1,2 Juta Pekerja Indonesia Terancam PHK Massal
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, sebelumnya membeberkan bahwa sistem rekrutmen, penempatan, pemindahan, hingga pembinaan guru ASN rencananya akan dikendalikan langsung oleh pemerintah pusat.
Hal ini menyusul keluhan banyak pihak, termasuk aktivis pendidikan, terkait rasio guru dan murid yang tidak merata di berbagai daerah.
“Saat ini, kami tidak punya wewenang memindahkan guru karena semua itu menjadi otoritas pemerintah daerah,” ungkap Mu’ti. Akibatnya, banyak daerah mengalami surplus guru, sementara daerah lain kekurangan parah.
Namun, sentralisasi ini berbenturan dengan UU Otonomi Daerah Nomor 23 Tahun 2014. Oleh karena itu, pembahasan RUU Sisdiknas kemungkinan besar akan bergulir bersamaan dengan rencana amandemen UU tersebut.
Salah satu wacana yang mencuat adalah menghapus sektor pendidikan dari daftar bidang yang dapat diotonomikan.
“Dulu, pendidikan masuk ranah otonomi daerah. Tapi karena banyaknya persoalan, seperti pembangunan sekolah dan manajemen guru, muncul wacana agar UU Otonomi Daerah juga diamandemen,” pungkas Mu’ti.
Kebijakan ini menjadi persimpangan penting: antara memusatkan wewenang demi pemerataan dan efisiensi, atau tetap mempertahankan otonomi daerah demi keadilan lokal.