INTERAKSI.CO, WASHINGTON DC – Ribuan warga Amerika Serikat turun ke jalan dalam aksi protes bertajuk “Hands Off” sebagai bentuk penolakan terhadap berbagai kebijakan Presiden Donald Trump, akhir pekan ini.

Aksi besar-besaran tersebut berlangsung di lebih dari 1.000 kota dan distrik kongres di seluruh AS, menjadikannya sebagai unjuk rasa terbesar sejak Trump kembali menduduki kursi presiden.

Kampanye ini digagas oleh koalisi kelompok progresif, termasuk organisasi MoveOn dan Women’s March, yang selama ini dikenal sebagai motor perlawanan sipil terhadap kebijakan konservatif.

“Trump, Elon Musk, dan para miliarder sekutunya sedang melakukan perebutan kekuasaan paling terang-terangan dalam sejarah modern AS,” demikian pernyataan resmi dari penyelenggara aksi, dikutip dari AFP, Minggu (6/4/2025).

Seruan Penolakan Nasional

Di pusat aksi, National Mall, Washington DC, ribuan warga berkumpul membawa spanduk bertuliskan kecaman terhadap pemerintah, seperti “Not My President!”, “Fascism Has Arrived”, “Stop Evil”, dan “Hands Off Our Social Security”. Massa menilai Trump menjalankan pemerintahan secara otoriter, mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi yang menjadi fondasi AS.

“Sangat mengkhawatirkan melihat bagaimana pemerintahan ini melibas seluruh sistem checks and balances – dari lingkungan hidup hingga hak-hak pribadi,” ujar Jane Ellen Saums, seorang pekerja real estate yang ikut aksi sambil mengenakan kostum Mother Nature, lengkap dengan tanaman rambat dan replika bumi.

Jane bukan satu-satunya yang mengungkapkan kekhawatiran. Banyak peserta demonstrasi merasa Partai Demokrat—yang seharusnya menjadi oposisi kuat—terkesan lemah dalam menghadapi kebijakan Trump yang semakin agresif.

“Kita butuh suara yang lebih keras dari Partai Demokrat. Ini bukan sekadar soal kebijakan ekonomi, tapi soal masa depan demokrasi,” kata Rashid Coleman, mahasiswa hukum dari New York University.

Kebijakan yang Memicu Gejolak

Aksi “Hands Off” menyasar berbagai kebijakan Trump yang dinilai membahayakan sistem pemerintahan dan hak sipil, seperti:

  • Efisiensi pemerintahan yang berujung pada pemangkasan layanan publik,

  • Dorongan nilai-nilai konservatif yang membatasi hak minoritas dan perempuan,

  • Pengenaan tarif impor tinggi yang memicu tensi dagang global, termasuk terhadap negara-negara sekutu seperti Indonesia dan Eropa.

Di bawah kepemimpinannya, Trump juga dikritik karena mengangkat Elon Musk sebagai penasihat strategis di bidang teknologi dan pemerintahan digital. Langkah ini memicu kekhawatiran atas potensi konsentrasi kekuasaan pada segelintir elit miliarder.

“Kami melihat apa yang sedang terjadi—penyusupan sistem oleh korporasi dan individu superkaya yang tidak dipilih rakyat,” ujar aktivis MoveOn, Lena Marsh. “Inilah saatnya rakyat mengambil sikap: tangan kalian jauhkan dari hak-hak kami!”

Gaung Aksi Sampai ke Dunia Internasional

Tak hanya di AS, gelombang protes juga terjadi di Paris, Roma, London, dan beberapa ibu kota dunia lainnya. Para demonstran di luar negeri menunjukkan solidaritas global terhadap warga AS yang sedang menghadapi perubahan drastis dalam pemerintahan.

“Kami berdiri bersama rakyat Amerika untuk melawan pemerintahan yang otoriter, penuh kebohongan, dan anti-rakyat,” kata Marie Dubois, salah satu peserta aksi di Paris.

Baca juga: Dahsyatnya Pengeboman Israel di Palestina, Warganet: Ada Hujan Jenazah di Gaza

Aksi ini menambah tekanan bagi pemerintahan Donald Trump di tengah meningkatnya ketegangan internasional akibat kebijakan dagangnya. Meski belum ada respons resmi dari Gedung Putih, analis menyebut bahwa gelombang protes ini menandai kebangkitan kembali gerakan rakyat sipil seperti yang terjadi pada masa awal kepresidenan Trump tahun 2017.

“Jika Trump mengabaikan suara rakyat seperti ini, maka dampak jangka panjangnya bisa sangat destruktif, bukan hanya bagi Amerika, tapi juga bagi stabilitas global,” ujar Prof. Michael Jensen, pengamat politik dari Georgetown University.

Author