Oleh: Puja Mandela
ULAMA palsu, ijazah palsu, hingga demokrasi palsu. Hari-hari kita makin sesak dengan berbagai jenis kepalsuan. Kata guru ngaji di kampung saya dahulu, saat mendekati akhir zaman, trennya memang begitu: semua serba palsu.
Setelah munculnya ChatGPT, setiap orang memungkinkan untuk menjadi penulis, jurnalis, novelis, atau profesi apa saja yang berkaitan dengan tulis menulis. Orang-orang yang tadinya kesulitan menyusun struktur kalimat, paragraf, hingga menjadi satu tulisan utuh, sekarang cukup menuliskan prompt yang bisa dicari di Google atau TikTok, lalu satu artikel jadi dalam hitungan detik.
Karya musik pun begitu. Lewat sejumlah aplikasi, seperti Suno, misalnya, kita bisa membuat lagu lengkap dengan aransemen musik dalam tempo yang super singkat. Saking cepatnya, kalau kita kentut, baunya belum hilang, lagunya sudah nongol di Spotify.
Lantas, apakah ada orang yang tidak malu mengeklaim karya yang dibuat oleh AI adalah karya dirinya? Ya, jelas ada. Dan mungkin banyak. Setidaknya dari yang saya ketahui, ada saja oknum wartawan dan musisi yang manipulatif seperti itu.
Kita juga sempat dihibur dengan munculnya kandungan babi pada makanan bersertifikat halal. Konyol sekali! Sungguh, kalau saja ada penghargaan untuk kategori negara yang tingkat kepalsuannya berada di level paripurna, negara kita minimal masuk lima besar dunia, dan mungkin bisa jadi nomor satu di Asean.
Ada begitu banyak kepalsuan di sekitar kita. Dan sayangnya seringkali kita sendiri tak bisa menghindar dari kepalsuan-kepalsuan itu. Kita terbiasa melontarkan kata-kata bernada pujian, tapi sejatinya itu hanya basa-basi belaka. Kita lebih nyaman menjadi manusia yang “tidak enakan”, daripada menjadi manusia yang bicara apa adanya.
Ya, dalam hal ini, seorang kawan yang saya sebut Si Gondrong Gila itu ada benarnya. Meski seringkali mengabaikan etiket dan sopan santun, tetapi dia berhasil menjadi manusia yang jujur. Dia berbicara sesuai dengan apa yang dia pikirkan.
Di luar sana ada banyak rumah yang terlihat mewah, tapi pemiliknya belum tentu bebas utang dan hidup tanpa masalah. Ada pendakwah bicara perjuangan untuk menegakkan ajaran agama, tapi motivasinya hanya untuk meraih popularitas dan memonopoli kebenaran.
Di tempat lain, seorang laki-laki pulang ke rumah, lalu memeluk anak dan istrinya, tetapi pikirannya masih terbayang dengan banyak wanita. Entah itu Indisya, Panda, Anggra, Caca, atau Sismita. Begitu kata Hindia dalam lagunya, “Rumah ke Rumah”.
Di penghujung zaman, seorang pria yang buta salah satu matanya konon bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit, memiliki kemampuan menghidupkan orang mati, bisa mendatangkan makanan enak tanpa aplikasi Go Food, mengubah cuaca tanpa bantuan APBD, dan kalau dia termasuk manusia yang hidup pada tahun 2025, pria itu pasti memiliki follower Instagram, TikTok, dan memiliki subscriber YouTube terbanyak di dunia, mengalahkan popularitas si botak yang satu itu. Tapi kita semua tahu, semuanya fana belaka. Sebab dia adalah penipu terhebat, puncak dari semua kepalsuan dunia.
Akhir kata, saat saya menyelesaikan tulisan pendek ini, muncul berita soal dugaan ijazah palsu dari seorang mantan pemimpin di negara yang kaya alamnya, senantiasa korup pejabatnya, dan selalu ribut rakyatnya. Awalnya saya sempat khawatir negara itu adalah Indonesia. Tapi setelah mencermati dengan seksama, alhamdulillah, belum tentu…
*
Penulis adalah pemred interaksidotco, Beatlemania, Interisti, player EASports amatir, kadang-kadang terlihat seperti wartawan, sesekali tampak layaknya musisi, tetapi masyhur sebagai suami yang setia kepada istrinya…