PUTUSAN MK memberi angin segar perbaikan demokrasi. Pilkada yang semula diselenggarakan secara “abal-abal”, terpaksa harus diulang. Kolom kosong dihadirkan sebagai alternatif bagi warga untuk memilih.
Menjadi persoalan, ketika penyelenggara PSU adalah pihak yang sama dengan Pilkada sebelumnya. Diselenggarakan oleh KPU yang “cacat”. Cacat dalam pengertian, integritas sebagai modal dasar penyelenggaraan Pilkada, dipertanyakan bahkan diragukan. Nasibnya masih menunggu hasil sidang etik DKPP. Apapun hasil DKPP, keputusan PSU sudah menegaskan penyelenggara tidak kredibel dan tidak layak menyelenggara Pilkada.
Sayangnya putusan MK tidak menyinggung soal penyelenggara, hanya memerintahkan dilakukan PSU di seluruh TPS di Kota Banjarbaru. Mestinya ada sanksi, sebab tindakannya bukan saja telah menghilangkan hak pilih warga, tapi juga merugikan keuangan negara dan daerah. Bahkan merugikan waktu, tenaga, dan dana dari warga yang lebih luas, termasuk merugikan negara akibat proses persidangan yang panjang dalam menentukan keadilan.
Mahkota tertinggi penyelenggara adalah kepercayaan publik. Lahir dari integritas dan komitmen tinggi dalam menegakkan prinsif demokrasi. Pada saat kepercayaan sudah tidak ada lagi, mungkinkah mampu menyelenggarakan PSU? Mungkinkah berdiri dengan kepala tegak, tanda kehormatan?
Idealnya seluruh penyelenggara diganti, termasuk penyelenggara tingkat provinsi. Termasuk Bawaslu kota dan provinsi. Semua tanggung renteng atas hilangnya hak pilih warga dari Pilkada yang memalukan tersebut.
Mestinya penyelenggaraaan PSU dilakukan oleh petugas yang baru, atau diambil alih oleh satu kepanitiaan yang lebih terpercaya. Bahkan memberhentikan seluruh penyelenggara, merupakan keputusan ringan, bila dilihat dari kerugian dan dampak yang ditimbulkan.
Namun apa daya, sebab penyelenggaraan PSU masih pihak yang sama, maka tidak ada cara, kecuali melakukan pengawasan seketat mungkin. Dilakukan oleh warga, organisasi masyarakat sipil, akademisi, media massa dan seluruh elemen warga. Sehingga tidak dimungkinkan ada sedikit pun bentuk kecurangan. Termasuk mengawasi berbagai potensi money politik, tindakan suap dan sogok terhadap penyelenggara di segala level.
Melalui PSU ini, waktunya berdemokrasi secara jujur, adil dan beritegritas, walau terpaksa diselenggarakan oleh KPU yang “cacat”.
Penulis: Noorhalis Majid