Masih ingat dengan kasus Mama Khas Banjar (MKB)? Produk jualannya dipersoalkan secara hukum karena sebagian tidak memiliki label kadaluarsa.

Sebagai UMKM dia ingin berbenah, menuruti seluruh standar kadaluarsa yang ditentukan. Tapi ternyata tidak mudah. Dinas dan Balai yang diharapkan mampu mendampingi, agar semua jenis produk memiliki label kadaluarsa, sehingga MKB menjadi contoh pembenahan produk-produk UMKM, pada kenyataannya tidak punya perangkat metode dan aturan yang cukup untuk mengakomodir semua jenis produk. Akhirnya yang terjadi justru saling lempar tanggung jawab kewenangan.

Dengan metode ilmiah apa menentukan kadaluarsa produk sejenis mandai, pakasam, iwak wadi, samu? Belum lagi kalau misalnya juga dijual jaruk tigarun, kalangkala atau gayam?

Tentu secara umum sangat dipahami, bahwa produk-produk tersebut merupakan proses fermentasi dengan aktivitas mikroorganisme. Penentuan kadaluarsanya berdasarkan umur simpan yang ditentukan dengan dua pendekatan, pertama, melakukan pengamatan secara periodik terksait bau, rasa, tekstur, warna, pertumbuhan jamur dan pH. Bisa diuji selama 1 atau 2 minggu, bahkan hingga berbulan-bulan, tergantung jenis produknya.

Kedua, bisa pula diuji mikrobiologi dan kimianya melalui laboratorium, sehingga diprediksi umur simpannya sesuai batas yang diperbolehkan oleh BPOM. Namun, tiap pengolahan tentu berbeda-beda, lantas apakah setiap kali mengolah harus diuji melalui laboratorim? berapa biayanya? Sanggupkan UMKM menanggungnya?

Memang cara mudah bagi produk UMKM, sebagaimana yang sudah terjadi di pasar-pasar tradisional. Pertama, produk yang dijual jangan dikemas perbagian. Biarkan segala jenis produk tersebut dipajang dalam toples atau wadah besar yang terlihat jelas. Semua produk siap dibeli sesuai timbangan yang diinginkan. Produknya baru dibungkus setelah ditimbang. Dengan cara seperti itu, tidak diperlukan label kadaluarsa. Cukup dicek setiap hari warna, aroma, rasa dan teksturnya.

Cara kedua, kalau semua yang dijual tersebut bagian dari produk rumahan, tidak perlu harus mengantongi BPOM, cukup PIRT, asalkan semua yang dijual tidak mengandung tambahan pengawet buatan. Cukup mencantumkan nama, bahan baku, proses pembuatan, label, bila dimungkinkan berikan saran cara penyimpanan, serta saran apabila terjadi perubahan produk, misal jangan dikonsumsi apabila terjadi perubahan warna, aroma, rasa dan tekstur. Berikan garansi, bila perubahan terjadi kurang dari satu minggu, kami siap mengganti. Dengan demikian, pembeli tahu rincian dari jenis produk yang dijual.

Sebenarnya, masyarakat sendiri punya “kearifan” untuk mengetahui kadaluarsanya suatu produk UMKM. Kalau bau, warna dan tekstur sudah berbeda sebagaimana lazimnya, barang tersebut tidak akan dibeli. Apalagi menyangkut mandai, pakasam, iwak wadi, samu, jaruk tigarun, kalangkala, gayam, orang Banjar punya kearifan dan kecanggihan melihat batas kadaluarsanya, bahkan melebihi laboratorium.

Penulis: Noorhalis Majid

Author