INTERAKSI.CO, Banjarbaru – Jika musik bisa menjadi mesin waktu, Wijaya 80 adalah pilot yang siap membawa pendengarnya kembali ke era keemasan pop 1980-an.

Lewat sejumlah lagunya, band ini dengan cerdas memadukan kisah cinta sederhana dengan aransemen musik yang menggugah memori masa lalu—dan mereka melakukannya tanpa terasa kuno.

Dipimpin oleh Ardhito Pramono, salah satu nama besar di ranah pop Indonesia, Wijaya 80 adalah proyek yang penuh ambisi namun tetap grounded. Bersama Erikson Jayanto, seorang keyboardist andalan yang sudah malang melintang di dunia produksi musik, dan Hezky Joe, musisi jazz yang membawa sentuhan soulful, mereka menciptakan formula musik yang terasa seperti nostalgia yang hangat tapi tetap relevan.

“Seharusnya Aku”, misalnya, adalah sebuah ode untuk cinta, kehilangan, dan mungkin sedikit harapan. Lirik seperti “lupakanlah hari ini, esok kan ingat lagi” adalah bukti bahwa mereka memahami bagaimana momen-momen sederhana dalam hidup sering kali menyimpan emosi yang paling dalam.

Ditambah dengan sentuhan synth dan melodi khas 80-an, lagu ini menjadi lebih dari sekadar debut—ini adalah pernyataan. Begitu pun dengan “Terakhir Kali” yang menyelipkan lirik cinta yang cerdas: “Tak ada patah hati yang sembuh di satu dan dua hari”. Ini merupakan lagu cinta yang cukup mellow, tetapi tidak cemen dan tidak pasaran.

Namun, jangan kira mereka hanya hidup di masa lalu. Dengan estetika vintage yang berpadu sempurna dengan sensibilitas modern, Wijaya 80 tidak sekadar memainkan lagu; mereka menciptakan atmosfer. Jika Seharusnya Aku adalah indikasi dari apa yang akan datang, maka ini baru awal dari perjalanan panjang yang menjanjikan.

Wijaya 80 tahu persis apa yang mereka lakukan: menghidupkan kembali nostalgia tanpa kehilangan jiwanya. Dan seperti musik 80-an yang terus menjadi relevan, band ini punya potensi untuk menjadi sesuatu yang lebih besar dari sekadar revival. Mereka adalah pengingat bahwa terkadang, untuk melangkah ke depan, kita hanya perlu menoleh ke belakang sejenak.

Author