Demonstrasi adalah cara dan sarana warga untuk mengomunikasikan harapan, keluhan, kritik bahkan perlawanan. Sebagai pernyataan protes secara massal, ia adalah strategi komunikasi yang dimaksudkan untuk menarik perhatian dan menyalakan api perubahan terhadap isu-isu kebijakan publik yang memengaruhi rasa keadilan masyarakat.

Dalam dua dekade terakhir, demonstrasi, protes, unjuk rasa, bukan lagi label eksklusif yang melekat pada strategi revolusioner gerakan golongan kiri atau komunis untuk memanipulasi emosi dan dukungan massa guna meraih kekuasaan. Tetapi ia adalah alat berucap yang lumrah dari berbagai gerakan sosial dan politik di berbagai negara. Mulai dari gerakan kecil akar-rumput yang berani memperjuangkan hak-haknya mengenai lingkungan hidup dan tanah adat, hingga gerakan global menentang ideologi neoliberalisme dan perdagangan bebas. Berbagai kelompok kepentingan, sosial, budaya, keagamaan, ras, etnisitas, dan gender pun lumrah menggunakan gelombang demonstrasi sebagai media menyuarakan aspirasi mereka.

Sebagian sejarah demonstrasi di Indonesia dilumuri ingatan konflik, kekerasan, darah, dan tragedi. Tak heran selama Orde Baru, aksi-aksi buruh, petani, dan mahasiswa dibungkam dengan berbagai cara dan dianggap sebagai gangguan dan kekacauan. Tetapi justru gerakan-gerakan demonstrasi itu membangun mitos, menciptakan bintang-bintang dan tumbal-tumbalnya sendiri yang bahkan dianggap sebagai titik tolak alih generasi/angkatan dan tonggak pergantian kepemimpinan nasional.

Baca juga: Memimpikan Kurikulum Inklusif

Akhir-akhir ini aksi-aksi protes kembali marak. Menjelang Pemilu 2024, misalnya, beberapa kampus besar di tanah air berunjuk rasa dan menyampaikan petisi keprihatinan mengenai kepemimpinan nasional. Kemudian, mahasiswa dari berbagai kampus memprotes kenaikan UKT yang dirasa mencekik mahasiswa dan orang tua mereka, terutama dari kalangan kurang mampu.

Sayangnya, protes-protes tersebut ditanggapi oleh para pemangku kebijakan sebagai menyuarakan kepentingan tertentu, bahkan kuliah di Pendidikan Tinggi dianggap hanya masalah pilihan (tertier). Pernyataan-pernyataan seperti itu menunjukkan bahwa orang-orang yang diberi amanah memegang kebijakan pendidikan tinggi ternyata tidak selalu memiliki kompetensi dan pemahaman mendalam akan visi dan misi pendidikan nasional. Alih-alih menyadari bahwa kebijakan pendidikan yang kurang mempertimbangkan rasa keadilan akan berakibat marjinalisasi dan eksklusi dalam pendidikan, ujungnya akan melanggengkan kesenjangan. Padahal, pendidikan adalah investasi manusia paling strategis tempat prinsip keadilan dan keberpihakan terhadap kaum lemah harus dimulai!

Sementara itu, demonstrasi-demonstrasi untuk menyuarakan perubahan kebijakan ke arah kehidupan masyarakat dan kinerja pemerintahan yang lebih baik, sejauh ini belum dilihat sebagai bangkitnya kesadaran warga untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan-kebijakan yang menentukan kehidupan mereka. Tak jarang justru ancaman, intimidasi bahkan kekerasan masih sering digunakan untuk menanggapinya.

Sebagai contoh, unjuk rasa ribuan warga Melayu yang menolak relokasi perkampungan adat Pulau Rempang, pada November 2023, yang berakhir ricuh. Sejatinya menjadi pelajaran bagaimana pembangunan kawasan wisata perlu didukung komunikasi yang optimal dengan warga terdampak. Demonstrasi warga adat adalah bentuk komunikasi ketidakpuasan menanggapi politik komunikasi yang tidak bermula dari bawah (bottom up). Sebagai negara yang ingin mengandalkan sektor wisata, komunikasi dengan warga yang terdampak akan sangat menentukan industri wisata di tanah air ke depan.

Demonstrasi adalah komunikasi alternatif yang paling mungkin bagi masyarakat ketika budaya komunikasi kebijakan hanya bersifat satu arah, dari atas ( top down), jauh dari kepentingan rakyat.

Pelajaran dari unjuk rasa warga Kepulauan Canary di Spanyol (13/4/2024), menguak sisi kelam industri pariwisata global. Warga melakukan protes atas turisme berlebihan yang membuat mereka dirugikan. Hunian kian tidak terjangkau, cadangan air bersih terancam, dan kebisingan mengganggu ketenteraman. Berpenduduk 2,2 juta jiwa, Canary disesaki hingga 16 juta wisatawan (2023). Pariwisata dinilai meminggirkan dan mendegradrasi kualitas hidup warga Canary (Kompas, 19/4/2004)

Protes-protes atas kebijakan UKT di Perguruan Tinggi atau rekolasi di Pulau Rempang, untuk menyebut secuil contoh, menunjukkan demonstrasi adalah komunikasi alternatif yang paling mungkin bagi masyarakat ketika budaya komunikasi kebijakan hanya bersifat satu arah, dari atas (top down), jauh dari kepentingan rakyat. Ketika rakyat hanya jadi pelengkap penderita dan saluran komunikasi politik formal kehilangan peran, demonstrasi akan menjadi media penting sarana berucap massa sepanjang abad ke-21.

Mengingat pentingnya demonstrasi sebagai komunikasi politik, kian dibutuhkan kematangan dan kreativitas bagi para pemrotes dan pemerintah dalam menyikapi protes. Dari sudut pemrotes, unjuk rasa harus dilihat sebagai komunikasi yang berdimensi kreatif. Demonstrasi adalah pernyataan komunikatif yang berbudaya, unjuk rasa dengan damai, nirkekerasan! Unjuk rasa bukanlah amuk massa, tawuran, huru hara, kekerasan, atau aksi fandalis dan anarkis lainnya. Unjuk rasa adalah pertunjukan komunikatif dan seni menarik perhatian dan emosi untuk perubahan. Karena itu sering melibatkan musik, seni, teater, dan di era media sosial, kreativitas demonstrasi warganet memanfaatkan platform digital, makin menunjukkan hasilnya di berbagai negara.

Dari sudut pemerintah, demonstrasi dan protes sejatinya dilihat sebagai instrumen untuk memahami persoalan dari sudut pandang kepentingan publik dan memastikan arah dan pembuatan kebijakan publik melibatkan partisipasi warga. Cara pandang sempit yang terlalu berpusat pada sisi seperti “teori dalang” di balik demonstrasi yang mencari “siapa” aktor intelektual (“who”) di balik protes perlu diganti dengan cara pandang “pesan dan isi” protes dan “mengapa” warga memrotes (“what” dan “why”) akar di balik protes. Pendekatan keamanan perlu diimbangi dengan pendekatan lebih humanis.

Akhirnya, demonstrasi tidak berarti kebenaran akan selalu menang. Tetapi dengan demonstrasi setidaknya apa yang diyakini benar perlu disuarakan dan diperjuangkan!

 

Sumber: Kompas

Author